jump to navigation

Tak Perlu Sama (?) August 30, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Simple.
Tags: , , , , ,
add a comment

“Jadi lebaran hari apa ya Kangmas?”, BBM dari seorang sahabat hari Senin, 29 Agustus 2011, 08:48.

“Belum tau bro. Sepertinya gue besok gak puasa, tapi sholat Iednya Rabu kalo pemerintah tentuin Rabu”, jawabku sekenanya bak berfirasat penetapan Lebaran akan berbeda. “Liat ntar sore dah”, aku menambahkan.

“Ok dech, thanks”

Sahut-sahutan lainnya di BBM soal yang satu ini memang aku layani dengan jawaban serupa. Pasalnya aku memang merasa harus menunggu sampai pemerintah menetapkan.

Ba’da Maghrib beberapa stasiun TV menyiarkan langsung sidang yang digelar pemerintah itu. Masjid dekat rumah  menunda sholat tarawihnya. Juataan mata menunggu pengumuman itu, walau diberitakan di beberapa daerah telah siap dengan arak-arakan takbirnya. Hasilnya, Rabu, tanggal 31 Agustus 2011 lah yang menjadi ketetapan pemerintah. Ketetapan ini bukan diambil oleh orang-orang yang kurang ilmu atau kapasitasnya. Termasuk apa yang sudah ditetapkan oleh PP Muhammadiyah, yang kali ini memilih “pamit” untuk berlebaran tanggal  30 Agustus 2011, demikian istilah yang dipakai oleh utusannya pada sidang itu. Cukuplah dengan penetapan pemerintah itu.

“Udah diumumin ya Bro?”, BBM sahabat ini lagi, kali ini jam 19:20.

“Belum. Tapi kayaknya akan Rabu. Selamat puasa bro”, sahutku

“Aku ikut Muhammadiyah Bro”, jawabnya

“:) Siiip…., (sholat) Ied nya ikut NU hari Rabu….”, sahutku

“Jadi Adil khan Bro”, sahut sahabatku

“(jempol)”, aku menutup percakapan BBM itu.

Aku sendiri memilih untuk berpuasa hari Selasa ini. Bukan saja karena harus mengikuti hasil sidang pemerintah itu, tetapi juga karena kurang setuju dengan beberapa statement dari wakil Muhammadiyah itu juga.

Lagi pula, kalau tidak salah mengingat, ALLAH berfirman melalui RasuluLLAH SAW : “Semua amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya”.

Bukankah ini artinya kita punya kesempatan untuk “mempersembahkan satu hari lagi” puasa kita untuk ALLAH? Bukankah ini artinya kita punya satu hari lagi kesempatan untuk mendapatkan berbagai macam kemewahan Ramadhan? Mengapa kita sia-siakan kesempatan ini? Bukankah tidak mungkin ada yang bisa menyalahkan keputusan pemerintah ini?

Dini hari, running text di stasiun TV menulis; “Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Qatar, Mesir dan Uni Emirat Arab menetapkan lebaran hari ini. Kawan di belahan bumi lain di Eropa juga berlebaran hari Selasa ini. Bagiku ini biasa saja selama kita melihatnya sebagai hal yang positif (selalu untung).

Terbayang deretan toko-toko yang menggelar pesta diskon. Semuanya membanting murah harga dan berlomba menarik orang untuk berbelanja. Sebagian toko menutup periode diskonnya hari Selasa, dan toko lainnya menutup hari Rabu. Aku tetap akan berbelanja memborong barang-barang obral murah itu, selagi uang masih ada, sampai toko tutup hari Rabu. Mengapa hirau dengan toko-toko yang sudah tutup, sementara masih ada toko yang buka. Lagi pula, kalo ternyata toko yang buka itu salah menentukan tanggal, biar manajer toko itu yang bertanggung jawab kepada Pemilik toko. Aku tetap saja memborong sebanyak-banyaknya barang obralan itu.

Haditz Qudsi; “Semua amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya”.

Untuk ALLAH kita boleh memilih (tentu tidak boleh sembarang pilih), mau 29 hari atau genap 30 hari. Ada yang bilang ALLAH senang bilangan ganji (29), yang lain bilang, aku pilih yang lebih banyak (30). Tidak mengapa tentunya. Ini kan bukan masalah menambah bilangan sholat Maghrib yang 3 rakaat menjadi 4 rakaat hanya karena sedang semangat beribadah. Itu pasti haram (dilarang). Ini adalah pilihan yang diperbolehkan dan dibenarkan. Lalu kenapa kita yang awam ini bingung dengan perbedaan ini. Biarlah orang-orang yang berilmu, punya kapasitas dan punya kedudukan yang memikirkan perbedaan itu. Lagi pula, mereka juga yang pasti akan mempertanggung jawabkan keputusan mereka, lebih jauh lagi akan bertanggung jawab atas pilihan kita.  Kita sendiri, tetap harus menikmati pesta diskon yang segera akan berakhir ini.

Ya ALLAH sampaikan kami pada Ramadhan yang akan datang.

Selamat Hari Raya Iedul Fitri, 1 Syawal 1432 H, Mohon Ma’af Lahir dan Bathin.

Semoga ALLAH terima Puasa kita dan menggolongkan kita di dalam golongan orang-orang yang taat.

Mengejar Hak, Lupa Kewajiban August 28, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi.
Tags: , ,
add a comment

Sebentar lagi, (kalau bukan kita yang meninggalkan Ramadhan), Bulan Yang Penuh Rahmah ini akan segera meninggalkan kita. Bulan dimana kita diberikan kesempatan untuk menggapai sebanyak-banyaknya Rahmah dan Ampunan ALLAH, sampai puncaknya terbebas dari api neraka (Mercy, Forgiveness and Freedom From Hell). Sayang bulan Yang di-Muliakan ini lewat begitu saja kecuali sedikit sekali yang telah  kita dapatkan.

Terlalu sedikitnya yang kita dapat, seringkali justru disebabkan oleh terlalu fokusnya kita mengejar hak-hak kita dan abai terhadap kewajiban kita. Kalapun kita meyakini ALLAH telah menjamin hak-hak kita, walau itu memang perlu kita upayakan, bukankah upaya itu juga merupakan kewajiban kita. Lalu bagaimana kita mengharap ALLAH memberikan hak itu kepada kita, jika kita justru tidak memenuhi kewajiban-kewajiban kita. Bahkan untuk merebut apa yang sering kita sebut hak itu, kita sering langgar semua adab, etika, moral bahkan hukum-hukum. Seolah hak itu harus direbut dengan cara semacam apapun.

Tetapi hidup memang pilihan. Bak pepatah gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Kita tak melihat kewajiban kita, tetapi sibuk memburu hak-hak kita. Bukankah hak dan kewajiban adalah sekeping mata uang dua sisi yang tidak bisa dipisahkan?

Puasa ini memang untuk ALLAH. Bukan hanya dengan  menjauhi yang haram, tapi justru menahan diri dari yang halal. Karenanya “yang haram aja susah, apalagi yang halal” bukanlah untuk orang yang beriman, demikian ustadz Arifin Ilham di radio saat memberikan kultum sore ini. Menghindari yang haram itu memang biasa dan sudah seharusnya, tapi mengendalikan yang halal memang bukan perkara mudah.  Seperti talaq (cerai), barang halal yang dibenci ALLAH, pasti  masih banyak barang-barang halal lainnya yang musti hati-hati kita upayakan, walau itu dengan alasan menuntut hak. Konsentrasilah pada kewajibanmu, dengan etika dan adab-adabmu, semoga ALLAH memenuhi hak-hakmu, tanpa perlu keraguanmu.

Ya ALLAH, banyak sekali kesempatan yang kami sia-siakan. Sampaikan umur kami agar bertemu Ramadhan yang akan datang.

Pagi Bingung August 12, 2011

Posted by merenung in Umum.
Tags:
add a comment

Pagi ini aku dibikin bingung oleh bicara seorang public figure. Pagi itu sambil setir mobil aku sempat dengar sepotong wawancara di radio Pro2 FM kalau tidak salah. Yang diwawancara adalah Johan Budi sang jubir KPK. Karena sepotong, mungkin saja kurang lengkap dan bikin bingung. Topik apalagi kalau bukan perlindungan kepada Nazarudin yang akan segera pulang ke tanah air. Konon Nazarudin pernah bilang kalau dia pernah diancam dibunuh. Lucunya sang jubir KPK ini meminta rakyat untuk fair, karena menurut dia anggota KPK juga mendapat ancaman pembunuhan. “Bukan Nazar saja yang diancam dibunuh. Kita juga diancam dibunuh. Jadi juga harus adil”, kira-kira begitu ucapannya.

Mambandingkan anggota KPK diancam pembunuhan (oleh siapapun juga), dengan Nazarudin yang diancam dibunuh, apapun juga kesalahannya, tentu saja jauh berbeda. Yang satu, pengemban amanat pemberantasan korupsi dan yang lain adalah tersangka (dan saksi tentu saja) korupsi. Seperti membandingkan tentara membawa senjata api dengan perampong membawa senjata serupa. Dua-duanya memang untuk membela diri, tetapi tentu saja sangat berbeda dan karenanya tidak pernah bisa dibandingkan. Yang bikin bingung buat aku adalah sudut pandang keadilan dari seorang anggota KPK ini.

Mencintai atau Dicintai August 9, 2011

Posted by merenung in Kehidupan, Umum.
Tags: ,
add a comment

Seorang kawan bertanya, bagaimana cara mengarahkan anak dengan benar. Kebetulan konteks pembicaraan adalah mencari sekolah yang cocok untuk anak. SMA Negri atau Swasta. Perguruan Tinggi Negri atau Swasta, dan seterusnya. Maklum, pas kenaikan, musim lulus lulusan dan cari sekolah. Tentu saja aku menjawab sesuai dengan apa yang aku alami saja, karena rasanya sulit menemukan kondisi  ideal, yang untuk setiap orang pastilah berbeda-beda.

“Saya bilang ke anak saya, kamu cari sekolah yang cepat bisa menghasilkan”, demikian kawanku ini.

Aku tanya; “Maksudnya menghasilkan itu apa?”.

“Maksudnya yang cepet bisa kerja dan dapet duit banyak”, begitu sahut kawan ini.

Aku bilang; “Itu ada benarnya tapi menurutku ada salahnya juga. Kita itu harus fokus pada amal (perbuatan) , dan bukan pada apa yang didapat (dibayar, dihargai dst). Karenanya kata ‘menghasilkan’ itu seharusnya menekankan pada ‘meng-hasil-kan’ bukan ‘men-dapat-kan’. Cepat dapat kerja itu harus dimaknai cepat mendapatkan tempat untuk ‘berkarya’, sehingga dapat  segera ‘bermanfaat’, terutama bermanfaat untuk ‘orang lain’. Jadi bukan fokus pada ‘apa yang akan didapat’. Seperti bayaran atau gaji yang banyak dan seterusnya.”

Teringat pada pilihan sederhana yang sering kali mendapat jawaban berbeda-beda. Lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai”. Banyak juga (terutama kaum perempuan) yang memilih, lebih baik “Dicintai”. Tetapi saat mereka disuruh memilih, lebih baik “Memberi” atau “Diberi” hampir semua memilih “Memberi”. Lebih baik “Menolong” atau “Ditolong”, semua memilih “Menolong”. Karena sesungguhnya fokus kita haruslah “Me” (beramal) bukannya “Di” menerima pemberian. Bukankah “hanya amal” saja milik kita? Yang lainnya akan kita tinggalkan?

Waktu aku tanya kawan ini pertanyaan sederhana itu, lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai” dia jawab, “Mencintai”. Penasaran, aku lanjutkan bertanya, lebih baik “Kerja tidak dibayar” atau “Tidak kerja tapi dikasih duit”. Dia jawab, lebih baik “Kerja tidak dibayar”. Jadi pingin jail aku tanya, lebih baik “underpay” atau “overpaid”. Dia jawab “underpay”. Bukan cuma itu jawabannya. Dia menambahkan, “Saya berdo’a supaya “underpay”, karena ternyata rejeki (berupa pekerjaan, proyek dst) bertambah banyak, sampai kita tolak-tolak”.

Hah ..! Ganti aku yang kaget. Gimana nggak kaget, wong kalau berdo’a aku minta tambahan terus. Padahal kalau aku pikir-pikir, kurang apa sih hidup ini dicukupi oleh ALLAH, kok selalu minta tambah.

Saudara Muslim August 5, 2011

Posted by merenung in Umum.
Tags: , , ,
1 comment so far

Terus terang, aku bukan pendengar setia ceramah Almarhum KH. Zainuddin MZ. Walaupun sudah sejak sangat lama dengan tanpa sengaja sering mendengarkan ceramah beliau. Baik melalui radio, TV ataupun suatu acara yang sebelumnya tidak aku ketahui beliaulah yang akan berceramah. Semoga ALLAH mengampuni dosa dan kesalahan beliau, menerima segala amal dan ibadahnya, melapangkan dan menerangi kuburnya dan menempatkan di tempat yang layak di akhirat kelak.

Ada sedikit cerita yang kebetulan aku tonton di  salah satu stasiun TV, saat membicarakan (mengenang) kepergian  beliau yang cukup mendadak. Saat itu, salah satu pembicara yang diundang adalah KH M. Nur Iskandar SQ, pendiri Pondok Pesantren Assidiqiyah. Beliau menceritakan salah satu kejadian yang tidak dapat dilupakan, tentang almarhum KH. Zainuddin MZ. Sewaktu Pondok Pesantren Assidiqiyah dibangun, dengan bangunan semi permanen (mengacu ke dinding dari tripleks dan seterusnya) dan fasilitas seadanya, Kyai Nur Iskandar menelpon Kyai Zainuddin yang kala itu sudah menjadi kyai kondang sejuta umat yang kasetnya tersebar di seantero  bumi Indonesia. Maksud Kyai Nur Iskandar menelpon beliau tentu saja untuk mengabarkan pendirian pesantren barunya, juga meminta do’a (restu) agar pesantren dapat berkembang dan maju.

Yang mengagetkan dan menjadi inti cerita Kyai Nur Iskandar SQ adalah tanggapan dari Kyai Zainuddin kala itu. Selain memberikan selamat dan mendo’akan agar pesantren barunya dapat berkembang, Kyai Zainuddin menambahkan “Kalau begitu, nanti saya tarik anak saya yang di Gontor dan saya titipkan di situ. Biar cepat maju”. Kalau tidak salah ingat Kyai Nur Iskandar bercerita bahwa dia menangis saat mendengar tanggapan Kyai Zainuddin. Bagaimana bisa anaknya yang di Gontor mau ditarik demi kepentingan pesantren baru yang tentu saja “kelas” nya dibawah Gontor yang begitu masyur. Tetapi itu nyatanya Kyai Zainuddin yang berusaha memberikan contoh perilaku muslim sejati.

Seperti di awal tulisan ini, aku mengakui bahwa aku bukan pendengar setia ceramah beliau. Bukan pula orang yang mengikuti tingkah polah dan kiprah beliau, sejak dari penceramah sampai masuk keluar partai. Kalaupun belakangan aku sering mendengarkan ceramahnya, karena memang beliau makin sering masuk TV. Walau aku tidak memeriksa ulang kebenaran kisah ini,tetapi cerita Kyai Nur Iskandar itu benar-benar menggugah. Betapa indahnya seorang muslim yang memikirkan kepentingan saudara muslim lainnya.

Teringat satu kesempatan mendengarkan kisah tentang pahala haji mabrur bagi seorang yang belum pernah menginjakkan kakinya di kota Makkah. Dikisahkan, sepasang suami istri yang tinggal di Syria menabung bertahun-tahun memendam kerinduan untuk pergi haji. Tetapi saat bekal uangnya telah mencukupi, justru diberikan kepada tetangganya yang didapatinya sedang kelaparan. Walau batal berangkat ke tanah suci, tetapi pasangan ini menjadi perbincangan malaikat tentang pahala haji mabrur. Kisah inipun bercerita tentang bagaimana seorang muslim memikirkan kepentingan saudara muslimnya.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasanya hadits ini dikenal oleh setiap muslim. Tapi mengapa sulit sekali rasanya mengamalkan. Memikirkan saudara muslimnya seperti memikirkan dirinya sendiri. Menafkahi saudara muslimnya seperti menafkahi dirinya sendiri. Mementingkan dan mendahukan kepentingan saudara muslimnya seperti kepentingan dirinya sendiri. Karena kalau tidak salah, mendahulukan kepentingan dunia saudara muslim itu adalah perbuatan terpuji yang disunahkan, sedangkan mendahulukan urusan akhirat saudara muslimnya adalah perbuatan yang makruh. Betapa keimanan seseorang justru diuji pada bagaimana perlakuannya kepada saudara muslimnya.

Seorang kawan menulis status di wall nya : Sesungguhnya, orang yang “kaya sejati” itu tidak hanya memewahkan dirinya sendiri. Tapi juga memewahkan orang-orang yang ada di sekitarnya, dan dia ikhlas. (SD)

Ketika aku tanya apa kepanjangan SD pada akhir statusnya, dijawab “Self Defence”

Shalat Supaya (Juga) Bahagia dan Sehat July 21, 2011

Posted by merenung in Jum'at, Kesehatan.
Tags: , , , ,
add a comment

Riwayat  yang menceritakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA terkena anak panah yang kemudian dicabut oleh sahabat lainnya pada saat menjalankan shalat, para ustadz menjelaskan dengan kata “khusyuk”. Begitu khusyuk nya Beliau Radhiyallahu Anhu shalat, anak panah itu tidak terasa saat dicabut, demikian penjelasannya.  Bagaimana kok sampai dicabut tidak terasa? Seperti apa khusyuk itu? Apakah khusyuk itu semacam trance (tidak sadarkan diri)? Seperti itu pertanyaan didalam kepala ini.

Entah bagaimana orang lain, tapi aku sesekali mencoba mencari bagaimana khusyuk itu. Dan rasanya sulit sekali mencapai bayangan itu. Kalau membayangkan saja tidak mungkin, bagaimana memahami apalagi mengalaminya.

Membaca buku The Miracle of Endorphin, karangan Dr. Shigeo Haruyama (lahir tahun 1940 di Kyoto, seorang dokter bedah lulusan Universitas Tokyo), mungkin adalah “salah satu” jawaban mengapa anak panah itu tidak terasa waktu dicabut. Bagaimana tidak, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Shigeo Haruyama, beta-endorhin  merupakan hormon yang dihasilkan otak yang berkhasiat dan bekerja lima atau enam kali lebih kuat dibandingkan obat bius (halaman 32). Karenanya hormon ini memiliki efek analgesic (penghilang rasa sakit). Dan karenanya kita menjadi mengerti cara kerja pembiusan akupuntur Cina. Di Cina, sejak dahulu operasi dilakukan tanpa anestesi dan pasien sepenuhnya dibius dengan jarum-jarum akupuntur (halaman 72).

Hormon yang satu ini disebut Hormon Kebahagiaan oleh Dr. Shigeo Haruyama. Dan mengapa otak memproduksi hormon jenis ini? “Saya yakin bahwa dengan itu, alam ingin memaksa kita untuk hidup bahagia”, menurut Dr. Shigeo Haruyama (halaman 32). Kalau ALLAH menciptakan kita dan memaksa kita untuk hidup bahagia (dengan Hormon Kebahagiaan itu), mengapa kita lihat banyak diantara kita yang hidup tidak bahagia?

Shalat pasti salah satu yang merangsang otak kita memproduksi hormon kebahagiaan (endorphin ) itu. Ritual yang kadang dipandang dengan kurang sepadan seperti berwudhu, sepertinya (ingin) dijelaskan oleh Dr. Shigeo Haruyama dengan pemijatan tsubo pada wajah yang merangsang  sekresi hormon kebahagiaan. Atau gerakan meditasi yang diajarkannya, pastilah sudah komplit diwakili dengan gerakan shalat yang sempurna itu. Ya ALLAH, betapa Engkau memaksa kami untuk bahagia dan sehat dengan “perintah” shalat-Mu.

Karena sudah sedikit mengerti, tinggal bagaimana berusaha shalat yang benar. Bukan saja untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, tapi juga membuat kita bahagia dan sehat. Ya ALLAH ajari kami shalat yang khusyuk.

Konsumtivisme Umrah April 20, 2011

Posted by merenung in Copy, Umum.
Tags: , ,
add a comment

Tulisan copy paste dari; “Koran Republika, Selasa 19 April 2011, hikmah oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub”

Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an, antusiasme umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah?
Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini.

Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah.

Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.

Keempat, sebagai simbol gengsi baru sebab dengan menjalankan umrah, berarti di mata masyarakat yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan, konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah.

Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga memengaruhi umat untuk berumrah.

Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin.
Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali.

Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.

Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu.
Tetapi, Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan.

Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka, uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Akibatnya, banyak janda, orang miskin, dan anak yatim.

Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
Di Madinah juga, ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunah.

Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya.

Kini, permasalahannya kembali pada kita, apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.

Logika Hukum February 2, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Umum.
Tags: ,
add a comment

Ada istilah yang akhir-akhir ini menjadi sangat sulit aku pahami. Logika hukum. Dua kata yang terasa mudah dicerna, ternyata sulit juga menelannya. Pengen muntah rasanya.

Terus terang saja, waktu Bibit Chandra dituduh dan dengan gagah menolak bahkan menantang, bangga juga rasanya punya penegak hukum yang berani. Tetapi, setelah perjalanan yang begitu lama dan melelahkan berujung deponeering (mengesampingkan), rasanya kok jadi terlihat mentah atau dimentahkan. Deponeering satu-satunya di negri ini yang diawali dengan upaya-upaya lain seperti SKPP dan PK. Memang unik (satu[-satunya). Padahal, kasus ini nyata-nyata sudah ada penyuapnya yang divonis penjara karena terbukti. Kenapa tidak dibuktikan saja bahwa Bibit Chandra tidak memeras atau menerima suap?

Untuk kasus Bibit Chandra, si penyuap dicokok terlebih dahulu, tetapi untuk kasus suap Cek Perjalanan DGBI yang dicokok justru si penerima suap. Alasannya mungkin strategi. Mungkin semacam selera saja. Masih terasa gampang logikanya.  Terserah gue dong. Toh, semua masih berjalan dan belum selesai tuntas. Logika bisa menunggu dan bersabar.

Tapi sekarang ada “Logika Hukum” yang menyatakan bahwa Jaksa (dalam hal ini Jaksa Agung) dengan posisi sebagai penuntut bisa memutuskan status seseorang, dengan alat deponeering. Dengan deponeering status tersangka bisa hilang begitu saja. Ternyata penuntut bisa juga memutuskan. Macam Tuhan mengampuni, maka yang bersalah menjadi tidak bersalah. Sayangnya, Tuhan memegang hak mutlak sebagai penuntut dan pemutus perkara. Mengesampingkan oleh penuntut (Tuhan) serta merta menjadi keputusan (Tuhan) juga. Dengan dikesampingkan (tidak dituntut karena kepentingan umum) oleh Tuhan, otomatis Tuhan (bisa dikatakan) memutuskan menghapus perkara itu.

Tapi kalo Jaksa (penuntut) memutuskan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (penting amat kali yaa), apa lalu Hakim (yang berhak memutuskan perkara) serta merta tidak boleh “menyangka”?

Mungkin lebih baik jika deponeering itu diterjemahkan sebagai “menghapus” saja. Jadi benar-benar hilang semuanya. Mengesampingkan dalam logika berfikir tidak akan menghilangkan. Mungkin logika hukum berbeda dengan logika berfikir.

 

Uya Emang Kuya January 30, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Umum.
Tags:
add a comment

Menonton acara hipnotis Uya Emang Kuya di salah satu TV swasta sore ini terasa agak lain. Biasanya yang dihipnotis anak-anak muda, atau pasangan anak muda dengan kasus selingkuh, cinta segi tiga dan kasus lain serupa itu. Tapi kali ini, yang dihipnotis adalah seorang anak perempuan dengan ayah si anak perempuan itu (nggak tau umurnya, karena nontonnya sepotong dam menjelang adzan magrib).

Masalahnya seputar anak perempuan ingin tidak terlalu dikekang dan banyak keinginan. Si anak perempuan ini juga curiga kalau dia bukanlah anak kandung si bapaknya ini. Sementara si bapak, saat dihipnotis mengaku bahwa anak perempuan ini memang anak kandungnya.

Banyaknya keinginan si anak perempuan ini yang memang sulit dipenuhi oleh si bapak. Walau si bapak berusaha keras untuk bisa memenuhinya. Saat si Uya tanya, apa pekerjaan si bapak ini, bapak ini menjawab, dia bekerja sebagai tukang pompa air. Mungkin maksudnya tukang bor sumur pompa. Dia mengaku berpendapatan tiap bulan dibawah satu juta rupiah. Memang Uya tidak menanyakan sudah berapa lama pendapatan itu tidak naik-naik. Apakah sudah lebih dari tujuh tahun, seperti presiden kita.

Yang mengejutkan adalah bagaimana si anak perempuannya merengek-rengek minta dibelikan BB. Gadget umum yang menjadi salah satu barang yang sangat populer saat ini. Entah bagaimana, kalimat-kalimat seperti “PIN lu berapa?”, “ntar BBM gue ya” atau “ada yang kirim di group”, menjadi bahasa yang sangat umum dan menjadi aneh kalau kita tidak mengerti maksudnya. Seorang anak merengek kepada bapaknya, yang tukang pompa air dengan penghasilan dibawah satu juta, untuk dibelikan BB. Merengek yang dijelaskan oleh bapaknya dengan “menangis”, yang artinya benar-benar merengek.

Betapa jaman modern seperti ini memang lebih banyak menghasilkan manusia-manusia pemuja simbol. Harta materi sebagai satu-satunya pengharapan. Tidak pandang bulu, wabah kebutuhan akan “kehidupan modern” seolah menjadi tujuan hidup seseorang. Mungkin “curhat presiden” itu memang merupakan gambaran kehidupan  rakyatnya, seperti anak perempuan itu, bapak si anak perempuan itu, aku sendiri dan rakyat kebanyakan lainnya. Yang “keinginannya” jauh lebih besar dari pada apa yang pantas dan bisa diupayakannya.

Besar pasak dari pada tiang.

Jadi ingat lagu Deep Rock yang mengingatkan akan kematian:

Kereto Jowo

 

Gaji Kurang ! January 23, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Umum.
Tags:
add a comment

Sebagai pegawai perusahaan, umumnya slip gaji diterima tertutup rapat dan kadang ada juga perusahaan yang memberikan cap besar warna merah “P & C” (Private & Confidential). Itu tandanya, hanya yang bersangkutan saja yang boleh melihat isinya. Pelanggaran atas peringatan cap itu menjadi sangat berat dengan resiko dikeluarkan, atau mendapat peringatan terakhir jika melanggarnya secara kebetulan dan tanpa maksud sengaja. Itupun harus capek-capek menjelaskan bagaimana kejadian ketidak sengajaannya. Itu sedikit pengetahuanku tentang gaji. Hal yang rasanya menjadi “penting banget” bagi karyawan atau pegawai atau buruh suatu institusi.

Sekarang ini, menjadi sedikit lebih jelas mengapa aku kadang merasa gaji yang ku terima kurang. Bagaimana tidak, hampir semua orang yang aku temui di negri ini, ternyata selalu merasa gaji mereka kurang. Kadang memang aku dengar ada diantara mereka bercerita tentang besarnya gaji yang diterima. Tetapi kesan yang aku tangkap, justru lebih pada sikap pamer kemampuan dan berbangga diri. Pada kenyataannya, tetap saja mereka kekurangan, banyak hutang dan tetap berharap mendapatkan lebih dari yang sudah diterima. Tentu tidak “semua” orang di negri ini yang merasa kekurangan gaji. Ada orang-orang yang diberi oleh ALLAH hidayah kesadaran akan “permainan” dunia yang melalaikan ini, mencukupkan dirinya dengan apa yang diterimanya.

Ternyata, orang nomor satu di negri ini sudah beberapa kali bicara soal gaji. Walau tidak bicara langsung (sebagaimana latar belakangnya sebagai orang Jawa), tetap saja yang ditangkap oleh yang mendengarnya adalah mengeluhkan gajinya yang dirasa kurang.  Paling tidak itu yang diliput media. Baru-baru ini, dia keluhkan lagi gaji yang besarnya 29 x (dua puluh sembilan kali) GDP per kapita bangsa yang dipimpinnya. Mungkin maksudnya membesarkan hati yang mendengarnya. Padahal merujuk pada rasio gaji pemimpin politik terhadap GDP per kapita, negri ini menempati urutan ke 3, dibawah Kenya dan Singapura. Negara-negara maju yang selama ini menjadi kiblat berbagai hal, justru jauh dibawah kita, seperti Amerika, Jepang, Korea Selatan, apalagi Cina dan India.

Kalau selama ini untuk segala urusan para pemimpin kita berkiblat ke negara-negara maju itu, mengapa kali ini, untuk urusan gaji harus memalingkan muka ke Kenya? Apa hebatnya punya gaji ratusan kali GDP rakyatnya, seperti Kenya? Lagi pula, yang diterima pemimpin kita itu bukan cuma gaji “doang”. Masih ditambah fasilitas, seperti “dana khusus operasional yang besarnya 2 milyar per bulan” (kira-kira 300 x gajinya ya?).”; masih ditambah lagi dengan fasilitas tempat tinggal berupa istana-istana, tim dokter kepresidenan, tim pengawalan dan tim hore lainnya.

Mungkin sebaiknya kepala negara memberikan contoh berfikir yang dibalik, yaitu dengan memikirkan GDP rakyatnya agar meningkat pesat lebih besar dari negara-negara maju yang selama ini selalu menjadi kiblatnya. Ajak jajarannya dan masyarakat luas untuk membantu peningkatan GDP. Jadi kalau GDP sudah besar, lalu mau mencontoh Amerika misalnya, tempat yang juga menjadi salah satu kiblatnya, buatlah GDP per kapita bangsa ini menjadi sama dengan atau diatas mereka. Buat pemerataan agar rakyat jelata menikmati tingginya GDP itu. Jangan pula GDP besar, tapi yang menikmati cuma para Gayus dan Cukong saja. Lalu, bolehlah  berpidato dengan bangga untuk meminta “penurunan gaji” dari 29 x menjadi 10 x GDP per kapita saja. Toh jumlahnya nanti sudah lebih besar dari gaji presiden Amerika. Nanti rakyat akan belikan pesawat terbang, helicopter warna biru persis seperti milik presiden Amerika juga.

Tapi, kalau pemimpin tidak mau berfikir seperti itu, malah menaik-naikkan gaji para aparatnya, untuk menjustifikasi kenaikan gajinya, maka sebaiknya rakyat negri inilah yang harus mulai berfikir terbalik. Berfikir untuk lebih banyak berkarya dan bermanfaat untuk orang banyak, agar nantinya ALLAH berikan pemimpin yang berfikir sama dengan rakyatnya. Karena, kalau rakyat hanya berfikir tentang dirinya sendiri, pasti pemimpinnya juga hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mana ada rakyat kelinci dipimpin oleh seekor harimau? Itu menentang kodrat !