jump to navigation

Konsumtivisme Umrah April 20, 2011

Posted by merenung in Copy, Umum.
Tags: , ,
add a comment

Tulisan copy paste dari; “Koran Republika, Selasa 19 April 2011, hikmah oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub”

Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an, antusiasme umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah?
Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini.

Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah.

Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.

Keempat, sebagai simbol gengsi baru sebab dengan menjalankan umrah, berarti di mata masyarakat yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan, konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah.

Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga memengaruhi umat untuk berumrah.

Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin.
Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali.

Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.

Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu.
Tetapi, Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan.

Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka, uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Akibatnya, banyak janda, orang miskin, dan anak yatim.

Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
Di Madinah juga, ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunah.

Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya.

Kini, permasalahannya kembali pada kita, apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.

Tali Kebohongan July 3, 2010

Posted by merenung in Copy, Kehidupan, Umum.
Tags:
add a comment

Disalin dari:

Koran Republika, Sabtu 3 Juli 2010

Hikmah oleh M Baharun

Bohong atau dusta adalah perbuatan nista. Tapi mengapa orang masih banyak melakukannya? Dimana-mana, kita menyaksikan orang berdusta: di pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat ibadah pun ada berani berdusta untuk menutupi perbuatan tercela. Kebohongan seakan menjadi perisai pembelaan diri. Terkadang, seorang tokoh panutan, juga tak luput melakukan kebohongan.

Di perusahaan, pemerintahan, dewan dan di pengadilan, masih ada yang bangga dengan kebohongan. Padahal, tali kebohongan itu pendek. Dalam sebuah kata bijak, “Semua tali itu panjang, kecuali tali kebohongan.”

Jika kita sudah menyadarinya, mengapa kita masih suka berdusta? ALLAH telah mengancam pendusta atau pembohong itu dengan kutukan. “La’natuLLAH ‘alal kadzibin” (laknat ALLAH atas para pendusta).

Orang yang suka berdusta itu sesungguhnya mendapatkan dua kali kerugian. Pertama, jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa dari perbuatan tercela ini.

Kedua, jika kebohongannya diketahui orang lain, mereka akan kehilangan kepercayaan. Bahkan,kepadanya akan disematkan predikat pendusta atau pembohong. Akibatnya, hubungan dirinya dengan sesama manusia (hablum minannas) akan terhambat.Orang akan menjauhi dan tidak bersimpati lagi kepadanya.

Ketika didatangi seseorang yang memohon nasehat kepada RasuluLLAH SAW, beliau hanya berkata singkat: “Jangan berdusta”. Kalimat singkat, namun bersahaja, dan memiliki implikasi manfaat yang sangat besar.

Orang yang berkata-kata jujur (benar) dan tidak suka berbohong, secara psikologis tidak punya beban berat dalam hidupnya. Karenanya, hatinya senantiasa merasa tenteram dan damai.

Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang dan dunia terasa sempit. Ia akan senantiasa merasa dihantui oleh perasaannya sendiri, lantaran khawatir kebohongan diketahui orang lain.

Dalam al Qur’an, terdapat 30 ayat yang menyangkut kebohongan ini. “Sesungguhnya orang yang berbohong itu, mereka yang tidak beriman dengan ayat-ayat ALLAH.” (QS 16:105). “Pendusta tidak beruntung.” (QS 16:116). “Yang menyiarkan berita bohong akan mendapat azab yang besar.” (QS 24:11). WaLLAHu a’lam.

Koran Republika, 3 Juli 2010

catatan renungan: kebanyakan orang tidak percaya bahwa kebohongan cepat atau lambat akan diketahui orang lain yang terkait dengan kebohongan itu (yang dibohongi atau menerima akibat dari kebohongan itu), tetapi sering kali orang terlambat menyadari setelah semua kebohongannya terbongkar.

Islam Yang Simpatik August 1, 2009

Posted by merenung in Copy, Umum.
Tags: , ,
1 comment so far

di-copy
Dari Koran Republika Selasa 28 Juli 2009.
hikmah – Islam yang Simpatik
Oleh Fauzi Bahreisy

Manakala menjadi imam shalat bagi kaum Muslimin di tempatnya, Mu’adz ibn Jabal RA membaca surat yang agak panjang, sehingga ada salah seorang makmum yang memisahkan diri dan menunaikan shalat sendiri.

Tindakan makmum tersebut spontan mendapat sorotan dari sebagian orang. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai munafik.
Merasa tidak nyaman dengan kondisi itu, dia melaporkan kasusnya kepada Rasulullah SAW.

Dia mengadukan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mendengar dari orang tersebut, Rasulullah SAW memanggil Mu’adz seraya berkata, `’Apakah engkau mau menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?’` Rasulullah SAW mengulanginya sampai tiga kali (HR Bukhari).

Artinya, Rasulullah SAW menegur tindakan Mu’adz yang telah menyulitkan jamaah shalat dengan membaca surat yang agak panjang. Hadis di atas memberikan gambaran mengenai Islam yang sebenarnya.

Islam yang hadir sebagai agama yang penuh rahmat: tidak memberatkan dan tidak pula menyulitkan.
Islam yang hadir sebagai agama yang pertengahan: tidak berlebihan dan melampaui batas. Serta Islam sebagai agama yang seharusnya memikat dan melahirkan simpati, bukan justru membuat orang lari dari agama.

Pada hadis di atas, tindakan ceroboh dan berlebihan dalam shalat yang membuat orang lain merasa berat dan tidak senang, mendapat teguran dari Rasulullah SAW. Padahal, itu tampak sepele.
Apalagi tindakan ekstrem dan melampaui batas yang lebih daripada itu.

Karenanya, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa ke Yaman, Rasulullah SAW berpesan, `’Permudahlah, jangan mempersulit! Berikan kabar gembira, jangan membuat orang malah lari dari agama!’` (Muttafaq alaih).

Pesan ini sangat penting untuk menjadi pegangan setiap Muslim, terutama para dai atau aktivis dakwah. Cara dakwah yang penuh hikmah seperti yang ditampilkan Rasulullah SAW akan mendapatkan simpati dan respons positif.

Sebaliknya, cara dakwah yang keras dan ekstrem, serta menebar teror dan ketakutan, tidak hanya menimbulkan efek buruk kepada oknum pelakunya, namun juga kepada Islam karena ia akan dianggap sebagai agama radikal dan kejam.

Kalau ini terjadi, maka persis seperti yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, `’Keindahan Islam tertutupi oleh perilaku umat Islam.’` Dari sini kita memahami mengapa Rasulullah SAW bersabda, `’Janganlah kalian ekstrem dalam beragama. Sebab, yang membuat generasi terdahulu binasa adalah tindakan ekstrem dalam beragama.’` (HR Ibn Ahmad, Majah, dan an-Nasai).