jump to navigation

Obat Cina – Angong Niuhuang Wan January 30, 2008

Posted by merenung in Kesehatan.
Tags:
3 comments

Awal Januari lalu, seperti kebiasaan selama ini, hari Senin aku puasa. Badan agak terasa lemas dan kepala pening pagi itu, aku minta tolong teman untuk dipijat ditengkuk. Siang hari, ba’da dzuhur harus berangkat untuk ikut RUPS Tahunan anak perusahaan yang agak tertunda, salah satunya untuk mengesahkan anggaran 2008. Agak terpaksa karena harus duduk di bagian pemegang saham, dari awal sudah melihat-lihat terus ke langit-langit tempat AC palfon menyemburkan angin dingin tepat ke arah kepala sambil berfikir, “Alamat tambah pening deh”. Apalagi ruang yang luas itu hanya diisi beberapa orang saja. Rapatnya sendiri berjalan biasa saja dan tidak terlalu membuat pusing. Tetapi karena tengah berpuasa dan sedang pening, ditambah semburan angin dingin AC diatas kepala, tentu saja tengkuk bertambah pegal dan menambah pening kepala. “Masuk angin”, pikirku.

Memang sadar bahwa agak sedikit dzolim terhadap diri sendiri, karena beberapa hari sebelumnya sudah dijalani dengan kurang seimbang. Sebelum libur Natal dan akhir tahun, sempat begadang tidak tidur lebih dari 24 jam. Memang kerja dikantor dengan target sebelum libur panjang, karena biasanya kantor afiliasi yang ada di negri kangguru orang-orangnya akan libur sampai pertengahan Januari. Agak memaksakan diri. Libur panjang akhir tahun, diisi dengan aktifitas “nukang” dan ngisi apartemen mungil. Berangkat dari rumah pagi hari, belanja perkakas dan lain-lain, terus nukang dan pulang malam hari. Asyik juga sih. Belum lagi tidur dini hari pas tahun baru, walaupun tidak ada acara khusus kecuali makan bersama dengan keluarga di rumah adik dan lihat dari kejauhan para tetangga menyalakan kembang api bersahut-sahutan. Agak kontras memang, sementara yang lain prihatin dan mengadakan zikir bersama, sebagian lainnya membakar kembang api yang hanya bisa dinikmati beberapa menit saja. Intinya akhir tahun yang kurang sehat.

Pulang dari acara rapat, naik taksi dengan kawan untuk kembali ke kantor sekitar jam 4 sore. Dengan tengkuk pegal dan kepala masih tetap pening aku sandarkan kepalaku di tempat duduk belakang sambil mencoba mengistirahatkan pikiran. Setengah perjalanan yang agak macet, karena memang jam pulang kantor, aku mulai merasakan kesemutan dari tengkuk sampai tulang ekor. Walau AC mobil sepertinya cukup dingin, tapi badan terasa panas dan agak berkeringat, mungkin juga karena menahan pening kepala. Tiba-tiba ada perasahan berbeda yang menjalar di tengkuk dan anehnya kepala dan tengkuk menjadi enteng. Peningnya berkurang bahkah bisa dikatakan hilang. Waktu mencoba mengankat tangan kanan, ternyata tangan terasa lemas. Juga kaki sebelah kanan. Mencoba mengusap wajah sebelah kanan, terasa ada strum menyengat diwajah.

Sedikit menenangkan diri, saya coba tanya ke teman di sebelah, “Kenapa ya, tangan saya kebas seperti kesemutan dan lemas? Apa muka saya pucat?” sambil aku gerak-gerakkan tangan dan kaki kanan. “Pucat pak, jangan terlalu dipikirkan. Apa ini langsung pulang saja?”, ternyata belakangan mengaku juga bahwa ada perasaan takut pada saat itu. Singkat cerita, turun taksi dipapah, dengan agak menyeret kaki kanan berjalan masuk ke kantor.

Malam itu saya dibawa ke pijat refleksi (kebetulan sudah kenal sejak jaman SMA dulu) dan diberi obat. Seperti biasa, obat dibungkus bola lilin sebesar kelereng besar, isinya dodol sebesar kelereng untuk disedu dengan air mendidih. Kalau dibaca huruf latin-nya Tong Ren Tang, sepertinya obat untuk heat stroke dan sejenisnya. AlhamduliLLAH, ces pleng…….

Masih rutin sampai sekarang pijat refleksi, alhamduliLLAH, hanya karena kemurahan ALLAH SWT, saat ini badan cukup bugar. Tadi pagi jalan treadmill 30 menit dan keluar keringat cukup banyak. (tengkuk sih kadang masih pegal-pegal)

Merenungkan kejadian tangan dan kaki lemas seperti itu ngeri rasanya. Semoga menjadi pelajaran yang berharga dan lebih berhati-hati menjaga kesehatan. Apalagi umur sudah tidak lagi muda. Tubuhpun akan protes kalau di-dzolimi.

Terima kasih ya ALLAH, Engkau berikan aku kesempatan untuk memperbaiki sikap yang selama ini berbuat tidak seimbang dan adil terhadap tubuhku. Kuatkan aku ya ALLAH, agar aku selalu dapat berusaha menjaga amanah yang engkau titipkan kepadaku. Amin.

Angong Niuhuang Wan

Cinta atau Sayang ? January 29, 2008

Posted by merenung in Serba-serbi.
add a comment

Flash back ke belakang, saat remaja SMA dan lagi seneng-senengnya kalo dibilang udah punya pacar, rasanya sering sekali kata cinta atau sayang diucapkan. Saat itu kata sayang lebih sering dipilih karena rasanya paling tepat. (Anak sekarang lebih gampang bilang cinta, lewat sms lagi).

TV belumlah sesemarak jaman sekarang, maka radiopun menjadi sarana hiburan paling meriah di dalam kamar tidur. Salah satu topik yang sempat dilontarkan oleh penyiar malam itu adalah “Apa bedanya cinta dan sayang”. Maka bersaut-sautanlah komentar dari pendengar lewat telpon mengemukakan pendapatnya. Gregetan dengan jawaban-jawaban ngambang dan tidak tegas, tanganpun gatal ikut pencet telepon. Kebeneran nyambung.

Sedikit singkat dan sederhana menerangkan beda cinta dengan sayang terletak kepada apa dan siapa cinta atau sayang itu ditujukan. Sayang bisa ditujukan ke apa atau siapa saja, sementara cinta hanya bisa ditujukan kepada sesuatu yang tidak dapat tergantikan. Tentu penyiar kurang puas dan bertanya :”Maksudnya ?”

Sayang adalah suatu perasaan senang yang mengakibatkan kita terikat dan mau berkorban kepada sesuatu yang kita merasa miliki dan / atau dimiliki, tetapi sesuatu itu dapat tergantikan. Bisa sayang kepada pacar, kepada mobil, kepada kelereng, kepada kucing, kepada istri dan seterusnya. Jadi ada bekas pacar, bekas mobil kita, bekas kelerang kita, bekas kucing kita dan bekas istri kita.

Sementara cinta adalah perasaan serupa tetapi kepada sesuatu yang tidak dapat tergantikan. Cinta kepada ALLAH Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada Rasulullah SAW adalah yang tertinggi, disusul cinta kepada ibu, cinta kepada anak, cinta kepada tahah air, cinta kepada ibu-nya anak-anak kita dan seterusnya.

Jadi kalau ada orang yang punya dua kewarga negaraan (menurut saya) orang tersebut tidak cinta dengan tanah airnya tetapi sekedar sayang saja. Kalau ada orang yang punya pacar, tapi belum nikah dan punya anak, tentu dia hanya bisa membukukan rasa sayang saja kepada pacarnya. Kalau pacarnya nanti menjadi istri, lalu punya anak dari pernikahannya, baru stempel cinta bisa bisa dipakai untuk merayu sang istri.

Sekedar pengalaman pribadi, setelah punya anak 3 orang dengan usia perkawinan 10 tahun, barulah saya undang kedua belah pihak keluarga untuk menyaksikan pernyataan cinta saya kepada istri. Sayangnya (waktu itu) konon istri tidak terlalu yakin bahwa memang dicintai, karena mungkin hanya kata sayang saja yang selama ini terdengar dan terlalu lama tidak mendengar kata cinta dari suami.

Kalau direnungkan, waktu anak pertama lahir seharusnya istri sudah dibisiki “Istriku, aku cinta padamu. Terima kasih cintaku, kamu sudah bersusah payah berkorban mengandung dan melahirkan anakku. Semoga ALLAH selalu mencurahkan Kasih dan Sayang Nya kepadamu. Amin”.

The Smiling General Telah Tiada January 27, 2008

Posted by merenung in Umum.
add a comment

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun,

Setelah dirawat selama 23 hari di rumah sakit, siang ini mantan presiden Republik Indonesia yang ke-2 meninggalkan semua perkara dunianya untuk menghadap Sang Maha Pencipta, ALLAH SWT.

Sebagai sesama muslim, do’a dipanjatkan agar ALLAH SWT menerima segala amal shaleh perbuatannya, mengampuni segala dosa kesalahannya dan memudahkan hisabnya kelak. Amin ya ALLAH ya Rahman ya Rahim.

Ditengah segala kontroversi dan polemik yang ada, sudah selayaknya sejenak kita merenung tentang  apa-apa yang telah almarhum sumbangkan kepada bangsa dan negara ini, dimana segala kesalahannya akan dipertanggung jawabkannya di hadapan Yang Maha Adil. Kemudian tanyakan kedalam sanubari, apa yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini dan sudah cukupkah amal yang akan dibawa untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kita dihadapan-Nya kelak?

Selamat jalan Jendral……………..

Mengapa Indonesia Tidak Menjadi Negara Maju ? January 26, 2008

Posted by merenung in Umum.
2 comments

Jum’at kemarim, salah seorang mantan Dirut BUMN Telekomunikasi dengan jenaka melemparkan email dengan judul diatas ke salah satu milis yang secara rutin dibaca banyak tokoh telekomunikasi di Indonesia. Dengan sedikit pengantar “barangkali ada baik kita relax sejenak, . . . .” terbersit maksud agar tulisan ini dapat dijadikan bahan pengantar akhir pekan, yang walaupun “relax” tetapi tetap tidak boleh berhenti memikirkan bangsa dan negara ini. Mungkin ini khas mantan pejabat yang tidak tenang melihat kisruhnya bangsa yang dicintainya.

Berikut sedikit cuplikan tulisannya:

“Balonku ada 5… rupa-rupa warnanya… merah, kuning, kelabu.. merah muda dan biru…meletus balon hijau , dorrrr!!!”. Perhatikan warna-warna kelima balon tsb, kenapa tiba2 muncul warna hijau?Jadi jumlah balon sebenarnya ada 6, bukan 5 ! -:)

Membacanya saja bisa tertawa kecut, apalagi membaca lanjutan tulisan lainnya yang memang sudah tersebar cukup lama di dunia maya ini.

Sudah diduga, tentu tanggapan atas milis tersebut bersahut-sahutan. Bukan hanya tulisannya memang menggelitik, dilempar oleh seorang yang pernah di puncak industri bergengsi, tetapi memang cocok dengan situasi bangsa saat ini dan tetap selalu menjadi pertanyaan setiap manusia yang masih belum berputus asa dengan bangsa besar ini.

Kalau dibaca-baca tanggapan yang muncul, dapat disimpulkan masalah utama bangsa ini sepertinya terletak pada moral bangsa. Moral bangsa yang artinya seluruh bangsa Indonesia ini. Bukan hanya moral rakyat jelatanya yang sudah amburadul, strata tengah yang cenderung rapuh dan lemah, apalagi para tokoh dan strata puncak yang ………….. (tidak ada kata halus yang bisa mewakili kondisi mereka).

Merenung sejenak mengingat satu penggalan waktu saat dalam perjalanan ke kota Bandung beberapa tahun yang lalu, seorang bapak tengah baya yang duduk disebelah bertanya dengan kata yang sedikit mirip dengan judul diatas. Kenapa ya………..?

Dari seribu jawaban yang ada di dalam kepala, saat itu sedang marak demo para guru di negara ini. Lalu meluncurlah kalimat demi kalimat yang sedikit menyinggung profesi yang dimuliakan ini.

Mungkin profesi sebagai guru dan dokter adalah dua profesi yang lebih dekat dengan barakah ALLAH SWT jika dibandingkan dengan profesi lainnya (tentu bukan dengan maksud merendahkan profesi lainnya). Dibandingkan pedagang, kontraktor atau yang lainnya, profesi guru dan dokter lebih dekat dan dijadikan laluan Rahmah ALLAH SWT. Guru menjadi laluan ilmu sedangkan dokter menjadi laluan kesembuhan, dimana keduanya bersumber dari ALLAH Yang Maha Kaya. Guru didasari niat untuk mendidik orang lain, sedangkan dokter didasari niat untuk menolong orang lain. Konon profesi lainnya seperti hakim, jaksa dan seterusnya di bidang hukum, walaupun sepertinya menjadi laluan keadilan, tetapi sangat dekat dengan murka ALLAH SWT (tentu kalau dalam memutuskan, menuntut dan seterusnya dikotori dengan maksud-masud selain keadilan).

Tetapi apa benar guru dan dokter yang tersebar melayani bangsa ini memang mempunyai niat mulia mendidik dan menolong? Apakah para guru dan dokter dapat mempertahankan niatnya, sementara kebutuhan hidup berkecukupan atau bahkan bergelimang materi terus membayangi, lalu lalang didepan mata.

Saat demo berlangsung di salah satu kota di negeri ini, seorang guru didepan kamera teve berucap dengan lantang “Perhatikan nasib kami yang pulang pergi ke sekolah naik kendaraan umum kepanasan, sementara murid-murid kami pulang pergi sekolah naik mobil pribadi ber AC”. Tertangkap bersitan nada iri dengan fasilitas dunia murid (tentu saja yang kaya dan bisa beli mobil ber AC adalah orang tua si murid). Harusnya si guru iri dengan orang tuanya, bukan dengan si murid. Atau jangan jadi guru, ingin kaya jadi pedagang saja.

Cerita lain menimpa teman sekaligus saudara belum sebulan yang lalu. Bapak dua anak yang punya pekerjaan sambilan berdagangan makanan khas Jawa Timuran pada hari Sabtu dan Minggu di parkiran satu pertokoan ini sudah menekuninya lebih dari 10 tahun. Seperti biasa, hari Jum’at pagi buta matahari belumlah tampak, sementara gerimis masih mengguyur bumi, bapak yang masih belum berumur setengah abad ini menaiki motornya berbelanja ke pasar untuk persiapan masak istrinya nanti malam. Bekal berjualan esok Sabtu tentunya. Entah bagaimana kecelakaan tunggal itu terjadi, motor terjatuh sementara dia tergeletak di jalan yang gelap dan sepi. Beberapa pengendara lalu lalang tanpa peduli sampai seorang pengendara motor menghentikan lajunya dan berusaha menolong.

Singkat cerita, sampailah si penolong mengantar korban ke satu unit gawat darurat rumah sakit. Cerita yang sampai, konon korban tidak segera ditangani semestinya, karena si penolong diminta untuk mencari keluarga korban. Memang sudah digariskan, akhirnya keluarga agak lambat ditemukan alamatnya dan baru sampai ke ruang gawat darurat itu sekitar pukul delapan pagi. Semua sudah terlambat, tanpa penanganan yang cukup korban tidak dapat bertahan dan meninggalkan semua urusannya di dunia. Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan, anak istri, keluarga dan handai taulan lainnya. Entah apa yang melatar belakangi rumah sakit itu untuk memilih mencari keluarganya terlebih dahulu sebelum mengusahakan pertolongan yang layak. Sangka buruk yang muncul tentu sangat sederhana, takut tidak ada yang bertanggung jawab membayar biaya rumah sakit. Atau, mungkin takut dituntut oleh keluarganya karena melakukan tindakan pertolongan tanpa persetujuan keluarga. Entahlah……….

Dari kedua cerita diatas (masih banyak cerita lain di kepala ini), sangat biasa jika kemudian disimpulkan niat mendidik dan menolong telah kalah oleh materi atau alasan dunia lainnya. Dimana untuk kedua profesi guru dan dokter justru niat mulia itulah yang menjadi penentunya. Diyakini bahwa bukanlah guru yang menjadi sumber ilmu, dimana murid menjadi ber-ilmu. Sebagaimana bukanlah dokter yang menjadi sumber kesembuhan, dimana pasien menjadi sembuh dari derita sakitnya. Mereka menjadi istimewa karena menjadi laluan kasih sayang ALLAH SWT kepada manusia. Apalagi kalau melihat profesi lain di negeri ini, yang seolah-olah karena kepandaian, kehebatan dan kebisaannyalah mereka bisa seperti saat ini. Lupa kalau sesungguhnya mereka tidaklah mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya berniat dan berusaha.

Mungkin tinggal sedikit tersisa di bumi Indonesia ini profesi mulia yang masih mengemban niat mulia. Bagaimana kita bisa berharap Indonesia bisa menjadi negara maju jika profesi se-mulia guru-pun sudah terkotori dengan niatan dunia, sementara apa yang dilakukannya justru membawa misi meninggikan derajat dengan pahala yang akan terus mengalir walau mereka telah tiada. Apa jadinya anak didik mereka?

Melayangkan ingatan kembali ke belakang, tahun 70 – 80 an, saat bersekolah dahulu, masih banyak guru yang masih menjaga niat mulianya. Terima kasih bapak dan ibu guru. Semoga amal dunia kami selalu mengalirkan curahan pahala atas pendidikan yang telah diberikan hingga kami dapat bermanfaat bagi orang lain.

Sekedar Tanda Tangan ? January 23, 2008

Posted by merenung in Umum.
Tags: , ,
6 comments

Minggu lalu, anak lelakiku yang saat ini duduk di kelas 3 SMP minta uang untuk beli formulir pendaftaran masuk SMA. Agak sedikit berbeda dari sekedar meminta uang, anakku sedikit segan mengungkapkan permintaannya. Karena dia ingin membeli formulir pendaftaran di SMA Pangudi Luhur.

Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, aku dan anakku (dan kadang istriku juga anak perempuanku) berdiskusi tentang rencana anakku ini. Diskusi sangat panjang (lebar), berlarut-larut dan penuh dengan emosi (bukan marah). Kami ber-empat (aku, istriku, kedua anak perempuanku) tidak ada satupun yang rela anak lelakiku ini mendaftar di SMA tersebut. Bahkan kedua anak perempuanku sering bertanya kepadaku, apa alasan saudara lelakinya itu sehingga dia memilih SMA tersebut. Tentu aku tidak bisa menjawabnya.

Kami keluarga muslim. Walau masa kecilku pernah menjadi seorang penganut agama Kristen, ikut sekolah minggu dan sesekali bermain organ di gereja atau kebaktian umat di rumah-rumah. Dan kebetulan, walau orang tuaku ada yang beragama Kristen sampai sekarang, bukan berarti kami ber-empat bisa mengerti mengapa anakku ini ingin masuk ke SMA tersebut.

Sekolah ini memang terkenal. Itu sejak dulu. Lucunya, waktu aku tanyakan kepada anakku, “Coba sebutkan satu saja alasan, kenapa kamu ingin masuk sekolah itu?”. Jawaban spontan-nya, “Keren, pa….”. Kasihan juga kalau aku renungkan, ternyata hanya untuk “keren-keren-an” anakku pilih sekolah. Agak terpaksa, aku luluskan permintaannya untuk membeli formulir, sambil berpesan (dengan nada sedikit menekan), “Papa akan cari guru ngaji untuk kamu, biar ngajimu bagus. Paham tentang agama dan taat menjalankan kewajiban”. Apa jawabnya? “Wah, kalau itu sih aku jamin pa…., aku bisa”, dengan sumringah tersenyum. Ada sedikit rasa senang bercampur khawatir di dalam hati, sembari berfikir “Kalaupun dilarang, bagaimana caranya?”.

Dua hari lalu, di atas meja makan, aku melihat map biru muda dengan tulisan “Formulir Pendaftaran”. Akhirnya dia mendapatkan formulir pendaftaran SMA dambaannya. Sebelum aku buka map, seperti biasa aku coba menebak hal penting untuk “sekolah hebat” seperti SMA yang satu ini. Entah berapa kali sampai ditelingaku, cerita tentang “sekolah atau perguruan tinggi hebat” lain yang juga Kristen atau Katolik, punya persyaratan khusus yang sulit untuk dipenuhi. Bukan saja oleh pemeluknya sendiri (demikian yang aku dengar), apalagi oleh kami yang bukan pengikutnya.

Aku buka map biru muda itu dan langsung mencari lembar yang menjadi tebakanku. F – 3; lembar Surat Pernyataan. Dimana kami diminta mengisi data orang tua murid dan menanda tanganinya diatas materai Rp. 6.000,- Dan itu harus ditanda tangani oleh ayah dan ibu. Isinya ada tiga butir dan yang paling penting tentu butir yang pertama saja yang akan ditulis disini.

(butir pertama) Dengan ini menyatakan tidak keberatan, bahwa:

– Putra kami mendapatkan pendidikan dengan sistem tatacara Katolik

– Putra kami disekolah hanya diajarkan satu pendidikan agama, yaitu pendidikan Agama Katolik

– Putra kami selama di sekolah berada dalam suasana Katolik serta berdoa dalam tatacara Katolik baik secara individual dan / atau bersama-sama.

Tentu aku tersenyum, karena tebakan-ku tepat. Selama ini memang aku tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri suatu persyaratan masuk sekolah atau perguruan tinggi yang memerlukan Surat Pernyataan yang mencantumkan butir seperti diatas. Ini memang kali pertama. Maklum, aku lulusan sekolah-sekolah negri biasa.

“Yang ini papa tidak berani tanda tangan”. Setelah aku bacakan, istriku ikut-ikutan “Mama juga tidak mau tanda tangan”. “Papa tidak berani mengorbankan keyakinan untuk apapun, apalagi hanya untuk keren-kerenan”. “Tapi ini hanya untuk formalitas, pa….”, rengek anakku. Aku menjawabnya dengan tegas, “Tanda tangan diatas materai itu tidak bisa hanya sekedar formalitas. (coba saja search di google kata arti materai). Masih banyak yang aku ucapkan kepada anakku dengan maksud dia mengerti mengapa aku bersikukuh dengan sikapku. Air mata mengalir di kedua pipinya, menunjukkan begitu ingin-nya anakku untuk bisa sekolah disana. Aku hanya bisa berharap dan berdo’a, semoga ALLAH SWT memberikan hidayah agar anakku mengerti dengan sikapku.

Tadi pagi, anakku berangkat ke sekolah dengan muka masam. Istriku sempat berbincang dan menanyakan, apakah dia mengerti penjelasanku malam itu. Anakku sempat berdalih, bahwa dia hanya ingin ikut test dan mencoba kemampuannya. Istriku bilang, “Coba saja kumpulkan formulir pendaftaran tanpa Surat Pernyataan itu. Bilang saja nanti menyusul”.

Aku yakin anakku mengerti apa alasanku. Aku juga yakin bahwa dia mengerti mengapa dia tidak perlu memaksakan diri masuk ke sekolah itu. Tapi memang godaan untuk menjadi “keren” sulit kita hapus begitu saja. Jangankan oleh anak yang bau kencur seperti anakku, kadang orang tua seperti aku saja sulit untuk menghindarinya.

Aku merenung, mengapa kita sering kali ingin dipandang “keren” oleh orang lain. Lalu kita sibuk mencari jalan untuk mencapainya. Akupun bertanya, “Memang kalau dilihat orang lain keren, kita jadi banyak tabungan pahalanya?”. Jangan-jangan justru hanya akan menjerumuskan kita.

Akankah kita tukar kehidupan akhirat kita dengan keren-nya dunia?

Makan-lah Dengan Benar January 23, 2008

Posted by merenung in Kesehatan.
Tags: ,
add a comment

Sepertinya, kebanyakan orang jaman sekarang sakit karena dua sebab utama, walaupun masih banyak penyebab lainnya. Dua penyebab utama tersebut adalah pikiran dan pola makan.

Merenungi pola makan yang sudah dijalani selama hidup ini, ternyata banyak sekali yang sudah salah dijalankan. Baik dari cara, jenis, waktu atau banyaknya. Sering kali, karena nikmat, makanan tidak dikunyah dengan baik (dan cukup). Dan itu mengakibatkan beban kerja lambung maupun usus menjadi berat. Belum lagi kegemaran makanan manis, goreng-gorengan atau makanan bersantan. Gurih memang. Makan malam hari, bahkan menjelang tidur. Ada saja yang bilang, kalau perut lapar (kosong) tidur malam tidak bisa nyeyak. Mentang-mentang enak, porsi makanpun menjadi banyak, goreng-gorengan dengan nasi gurih di malam hari. Nikmat…….

Mungkin banyak sudah buku-buku yang mengajarkan cara makan yang baik, kombinasi jenis makanan yang tepat atau bahkan menyesuaikan dengan golongan darah masing-masing orang. Tapi mungkin dan saya yakini benar, adalah cara makan Rasulullah SAW. Makan dengan waktu yang teratur pada saat lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Ada juga nasehat tambahan untuk cara makan Rasulullah SAW itu, katanya kecuali jam 12:00 sampai dengan jam 18:00 kita hanya boleh makan buah-buahan. Kalau begitu, sarapan dan makan malamnya buah-buahan, sedangkan makan siang boleh bebas…..asal……tidak boleh sampai kenyang.

Mudah-mudahan kita selalu diberikan kekuatan untuk menjaga kesehatan kita dengan menjaga pola makan kita.