jump to navigation

Tak Perlu Sama (?) August 30, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Simple.
Tags: , , , , ,
add a comment

“Jadi lebaran hari apa ya Kangmas?”, BBM dari seorang sahabat hari Senin, 29 Agustus 2011, 08:48.

“Belum tau bro. Sepertinya gue besok gak puasa, tapi sholat Iednya Rabu kalo pemerintah tentuin Rabu”, jawabku sekenanya bak berfirasat penetapan Lebaran akan berbeda. “Liat ntar sore dah”, aku menambahkan.

“Ok dech, thanks”

Sahut-sahutan lainnya di BBM soal yang satu ini memang aku layani dengan jawaban serupa. Pasalnya aku memang merasa harus menunggu sampai pemerintah menetapkan.

Ba’da Maghrib beberapa stasiun TV menyiarkan langsung sidang yang digelar pemerintah itu. Masjid dekat rumah  menunda sholat tarawihnya. Juataan mata menunggu pengumuman itu, walau diberitakan di beberapa daerah telah siap dengan arak-arakan takbirnya. Hasilnya, Rabu, tanggal 31 Agustus 2011 lah yang menjadi ketetapan pemerintah. Ketetapan ini bukan diambil oleh orang-orang yang kurang ilmu atau kapasitasnya. Termasuk apa yang sudah ditetapkan oleh PP Muhammadiyah, yang kali ini memilih “pamit” untuk berlebaran tanggal  30 Agustus 2011, demikian istilah yang dipakai oleh utusannya pada sidang itu. Cukuplah dengan penetapan pemerintah itu.

“Udah diumumin ya Bro?”, BBM sahabat ini lagi, kali ini jam 19:20.

“Belum. Tapi kayaknya akan Rabu. Selamat puasa bro”, sahutku

“Aku ikut Muhammadiyah Bro”, jawabnya

“:) Siiip…., (sholat) Ied nya ikut NU hari Rabu….”, sahutku

“Jadi Adil khan Bro”, sahut sahabatku

“(jempol)”, aku menutup percakapan BBM itu.

Aku sendiri memilih untuk berpuasa hari Selasa ini. Bukan saja karena harus mengikuti hasil sidang pemerintah itu, tetapi juga karena kurang setuju dengan beberapa statement dari wakil Muhammadiyah itu juga.

Lagi pula, kalau tidak salah mengingat, ALLAH berfirman melalui RasuluLLAH SAW : “Semua amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya”.

Bukankah ini artinya kita punya kesempatan untuk “mempersembahkan satu hari lagi” puasa kita untuk ALLAH? Bukankah ini artinya kita punya satu hari lagi kesempatan untuk mendapatkan berbagai macam kemewahan Ramadhan? Mengapa kita sia-siakan kesempatan ini? Bukankah tidak mungkin ada yang bisa menyalahkan keputusan pemerintah ini?

Dini hari, running text di stasiun TV menulis; “Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Qatar, Mesir dan Uni Emirat Arab menetapkan lebaran hari ini. Kawan di belahan bumi lain di Eropa juga berlebaran hari Selasa ini. Bagiku ini biasa saja selama kita melihatnya sebagai hal yang positif (selalu untung).

Terbayang deretan toko-toko yang menggelar pesta diskon. Semuanya membanting murah harga dan berlomba menarik orang untuk berbelanja. Sebagian toko menutup periode diskonnya hari Selasa, dan toko lainnya menutup hari Rabu. Aku tetap akan berbelanja memborong barang-barang obral murah itu, selagi uang masih ada, sampai toko tutup hari Rabu. Mengapa hirau dengan toko-toko yang sudah tutup, sementara masih ada toko yang buka. Lagi pula, kalo ternyata toko yang buka itu salah menentukan tanggal, biar manajer toko itu yang bertanggung jawab kepada Pemilik toko. Aku tetap saja memborong sebanyak-banyaknya barang obralan itu.

Haditz Qudsi; “Semua amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya”.

Untuk ALLAH kita boleh memilih (tentu tidak boleh sembarang pilih), mau 29 hari atau genap 30 hari. Ada yang bilang ALLAH senang bilangan ganji (29), yang lain bilang, aku pilih yang lebih banyak (30). Tidak mengapa tentunya. Ini kan bukan masalah menambah bilangan sholat Maghrib yang 3 rakaat menjadi 4 rakaat hanya karena sedang semangat beribadah. Itu pasti haram (dilarang). Ini adalah pilihan yang diperbolehkan dan dibenarkan. Lalu kenapa kita yang awam ini bingung dengan perbedaan ini. Biarlah orang-orang yang berilmu, punya kapasitas dan punya kedudukan yang memikirkan perbedaan itu. Lagi pula, mereka juga yang pasti akan mempertanggung jawabkan keputusan mereka, lebih jauh lagi akan bertanggung jawab atas pilihan kita.  Kita sendiri, tetap harus menikmati pesta diskon yang segera akan berakhir ini.

Ya ALLAH sampaikan kami pada Ramadhan yang akan datang.

Selamat Hari Raya Iedul Fitri, 1 Syawal 1432 H, Mohon Ma’af Lahir dan Bathin.

Semoga ALLAH terima Puasa kita dan menggolongkan kita di dalam golongan orang-orang yang taat.

Mengejar Hak, Lupa Kewajiban August 28, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi.
Tags: , ,
add a comment

Sebentar lagi, (kalau bukan kita yang meninggalkan Ramadhan), Bulan Yang Penuh Rahmah ini akan segera meninggalkan kita. Bulan dimana kita diberikan kesempatan untuk menggapai sebanyak-banyaknya Rahmah dan Ampunan ALLAH, sampai puncaknya terbebas dari api neraka (Mercy, Forgiveness and Freedom From Hell). Sayang bulan Yang di-Muliakan ini lewat begitu saja kecuali sedikit sekali yang telah  kita dapatkan.

Terlalu sedikitnya yang kita dapat, seringkali justru disebabkan oleh terlalu fokusnya kita mengejar hak-hak kita dan abai terhadap kewajiban kita. Kalapun kita meyakini ALLAH telah menjamin hak-hak kita, walau itu memang perlu kita upayakan, bukankah upaya itu juga merupakan kewajiban kita. Lalu bagaimana kita mengharap ALLAH memberikan hak itu kepada kita, jika kita justru tidak memenuhi kewajiban-kewajiban kita. Bahkan untuk merebut apa yang sering kita sebut hak itu, kita sering langgar semua adab, etika, moral bahkan hukum-hukum. Seolah hak itu harus direbut dengan cara semacam apapun.

Tetapi hidup memang pilihan. Bak pepatah gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Kita tak melihat kewajiban kita, tetapi sibuk memburu hak-hak kita. Bukankah hak dan kewajiban adalah sekeping mata uang dua sisi yang tidak bisa dipisahkan?

Puasa ini memang untuk ALLAH. Bukan hanya dengan  menjauhi yang haram, tapi justru menahan diri dari yang halal. Karenanya “yang haram aja susah, apalagi yang halal” bukanlah untuk orang yang beriman, demikian ustadz Arifin Ilham di radio saat memberikan kultum sore ini. Menghindari yang haram itu memang biasa dan sudah seharusnya, tapi mengendalikan yang halal memang bukan perkara mudah.  Seperti talaq (cerai), barang halal yang dibenci ALLAH, pasti  masih banyak barang-barang halal lainnya yang musti hati-hati kita upayakan, walau itu dengan alasan menuntut hak. Konsentrasilah pada kewajibanmu, dengan etika dan adab-adabmu, semoga ALLAH memenuhi hak-hakmu, tanpa perlu keraguanmu.

Ya ALLAH, banyak sekali kesempatan yang kami sia-siakan. Sampaikan umur kami agar bertemu Ramadhan yang akan datang.

Pagi Bingung August 12, 2011

Posted by merenung in Umum.
Tags:
add a comment

Pagi ini aku dibikin bingung oleh bicara seorang public figure. Pagi itu sambil setir mobil aku sempat dengar sepotong wawancara di radio Pro2 FM kalau tidak salah. Yang diwawancara adalah Johan Budi sang jubir KPK. Karena sepotong, mungkin saja kurang lengkap dan bikin bingung. Topik apalagi kalau bukan perlindungan kepada Nazarudin yang akan segera pulang ke tanah air. Konon Nazarudin pernah bilang kalau dia pernah diancam dibunuh. Lucunya sang jubir KPK ini meminta rakyat untuk fair, karena menurut dia anggota KPK juga mendapat ancaman pembunuhan. “Bukan Nazar saja yang diancam dibunuh. Kita juga diancam dibunuh. Jadi juga harus adil”, kira-kira begitu ucapannya.

Mambandingkan anggota KPK diancam pembunuhan (oleh siapapun juga), dengan Nazarudin yang diancam dibunuh, apapun juga kesalahannya, tentu saja jauh berbeda. Yang satu, pengemban amanat pemberantasan korupsi dan yang lain adalah tersangka (dan saksi tentu saja) korupsi. Seperti membandingkan tentara membawa senjata api dengan perampong membawa senjata serupa. Dua-duanya memang untuk membela diri, tetapi tentu saja sangat berbeda dan karenanya tidak pernah bisa dibandingkan. Yang bikin bingung buat aku adalah sudut pandang keadilan dari seorang anggota KPK ini.

Mencintai atau Dicintai August 9, 2011

Posted by merenung in Kehidupan, Umum.
Tags: ,
add a comment

Seorang kawan bertanya, bagaimana cara mengarahkan anak dengan benar. Kebetulan konteks pembicaraan adalah mencari sekolah yang cocok untuk anak. SMA Negri atau Swasta. Perguruan Tinggi Negri atau Swasta, dan seterusnya. Maklum, pas kenaikan, musim lulus lulusan dan cari sekolah. Tentu saja aku menjawab sesuai dengan apa yang aku alami saja, karena rasanya sulit menemukan kondisi  ideal, yang untuk setiap orang pastilah berbeda-beda.

“Saya bilang ke anak saya, kamu cari sekolah yang cepat bisa menghasilkan”, demikian kawanku ini.

Aku tanya; “Maksudnya menghasilkan itu apa?”.

“Maksudnya yang cepet bisa kerja dan dapet duit banyak”, begitu sahut kawan ini.

Aku bilang; “Itu ada benarnya tapi menurutku ada salahnya juga. Kita itu harus fokus pada amal (perbuatan) , dan bukan pada apa yang didapat (dibayar, dihargai dst). Karenanya kata ‘menghasilkan’ itu seharusnya menekankan pada ‘meng-hasil-kan’ bukan ‘men-dapat-kan’. Cepat dapat kerja itu harus dimaknai cepat mendapatkan tempat untuk ‘berkarya’, sehingga dapat  segera ‘bermanfaat’, terutama bermanfaat untuk ‘orang lain’. Jadi bukan fokus pada ‘apa yang akan didapat’. Seperti bayaran atau gaji yang banyak dan seterusnya.”

Teringat pada pilihan sederhana yang sering kali mendapat jawaban berbeda-beda. Lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai”. Banyak juga (terutama kaum perempuan) yang memilih, lebih baik “Dicintai”. Tetapi saat mereka disuruh memilih, lebih baik “Memberi” atau “Diberi” hampir semua memilih “Memberi”. Lebih baik “Menolong” atau “Ditolong”, semua memilih “Menolong”. Karena sesungguhnya fokus kita haruslah “Me” (beramal) bukannya “Di” menerima pemberian. Bukankah “hanya amal” saja milik kita? Yang lainnya akan kita tinggalkan?

Waktu aku tanya kawan ini pertanyaan sederhana itu, lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai” dia jawab, “Mencintai”. Penasaran, aku lanjutkan bertanya, lebih baik “Kerja tidak dibayar” atau “Tidak kerja tapi dikasih duit”. Dia jawab, lebih baik “Kerja tidak dibayar”. Jadi pingin jail aku tanya, lebih baik “underpay” atau “overpaid”. Dia jawab “underpay”. Bukan cuma itu jawabannya. Dia menambahkan, “Saya berdo’a supaya “underpay”, karena ternyata rejeki (berupa pekerjaan, proyek dst) bertambah banyak, sampai kita tolak-tolak”.

Hah ..! Ganti aku yang kaget. Gimana nggak kaget, wong kalau berdo’a aku minta tambahan terus. Padahal kalau aku pikir-pikir, kurang apa sih hidup ini dicukupi oleh ALLAH, kok selalu minta tambah.

Saudara Muslim August 5, 2011

Posted by merenung in Umum.
Tags: , , ,
1 comment so far

Terus terang, aku bukan pendengar setia ceramah Almarhum KH. Zainuddin MZ. Walaupun sudah sejak sangat lama dengan tanpa sengaja sering mendengarkan ceramah beliau. Baik melalui radio, TV ataupun suatu acara yang sebelumnya tidak aku ketahui beliaulah yang akan berceramah. Semoga ALLAH mengampuni dosa dan kesalahan beliau, menerima segala amal dan ibadahnya, melapangkan dan menerangi kuburnya dan menempatkan di tempat yang layak di akhirat kelak.

Ada sedikit cerita yang kebetulan aku tonton di  salah satu stasiun TV, saat membicarakan (mengenang) kepergian  beliau yang cukup mendadak. Saat itu, salah satu pembicara yang diundang adalah KH M. Nur Iskandar SQ, pendiri Pondok Pesantren Assidiqiyah. Beliau menceritakan salah satu kejadian yang tidak dapat dilupakan, tentang almarhum KH. Zainuddin MZ. Sewaktu Pondok Pesantren Assidiqiyah dibangun, dengan bangunan semi permanen (mengacu ke dinding dari tripleks dan seterusnya) dan fasilitas seadanya, Kyai Nur Iskandar menelpon Kyai Zainuddin yang kala itu sudah menjadi kyai kondang sejuta umat yang kasetnya tersebar di seantero  bumi Indonesia. Maksud Kyai Nur Iskandar menelpon beliau tentu saja untuk mengabarkan pendirian pesantren barunya, juga meminta do’a (restu) agar pesantren dapat berkembang dan maju.

Yang mengagetkan dan menjadi inti cerita Kyai Nur Iskandar SQ adalah tanggapan dari Kyai Zainuddin kala itu. Selain memberikan selamat dan mendo’akan agar pesantren barunya dapat berkembang, Kyai Zainuddin menambahkan “Kalau begitu, nanti saya tarik anak saya yang di Gontor dan saya titipkan di situ. Biar cepat maju”. Kalau tidak salah ingat Kyai Nur Iskandar bercerita bahwa dia menangis saat mendengar tanggapan Kyai Zainuddin. Bagaimana bisa anaknya yang di Gontor mau ditarik demi kepentingan pesantren baru yang tentu saja “kelas” nya dibawah Gontor yang begitu masyur. Tetapi itu nyatanya Kyai Zainuddin yang berusaha memberikan contoh perilaku muslim sejati.

Seperti di awal tulisan ini, aku mengakui bahwa aku bukan pendengar setia ceramah beliau. Bukan pula orang yang mengikuti tingkah polah dan kiprah beliau, sejak dari penceramah sampai masuk keluar partai. Kalaupun belakangan aku sering mendengarkan ceramahnya, karena memang beliau makin sering masuk TV. Walau aku tidak memeriksa ulang kebenaran kisah ini,tetapi cerita Kyai Nur Iskandar itu benar-benar menggugah. Betapa indahnya seorang muslim yang memikirkan kepentingan saudara muslim lainnya.

Teringat satu kesempatan mendengarkan kisah tentang pahala haji mabrur bagi seorang yang belum pernah menginjakkan kakinya di kota Makkah. Dikisahkan, sepasang suami istri yang tinggal di Syria menabung bertahun-tahun memendam kerinduan untuk pergi haji. Tetapi saat bekal uangnya telah mencukupi, justru diberikan kepada tetangganya yang didapatinya sedang kelaparan. Walau batal berangkat ke tanah suci, tetapi pasangan ini menjadi perbincangan malaikat tentang pahala haji mabrur. Kisah inipun bercerita tentang bagaimana seorang muslim memikirkan kepentingan saudara muslimnya.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasanya hadits ini dikenal oleh setiap muslim. Tapi mengapa sulit sekali rasanya mengamalkan. Memikirkan saudara muslimnya seperti memikirkan dirinya sendiri. Menafkahi saudara muslimnya seperti menafkahi dirinya sendiri. Mementingkan dan mendahukan kepentingan saudara muslimnya seperti kepentingan dirinya sendiri. Karena kalau tidak salah, mendahulukan kepentingan dunia saudara muslim itu adalah perbuatan terpuji yang disunahkan, sedangkan mendahulukan urusan akhirat saudara muslimnya adalah perbuatan yang makruh. Betapa keimanan seseorang justru diuji pada bagaimana perlakuannya kepada saudara muslimnya.

Seorang kawan menulis status di wall nya : Sesungguhnya, orang yang “kaya sejati” itu tidak hanya memewahkan dirinya sendiri. Tapi juga memewahkan orang-orang yang ada di sekitarnya, dan dia ikhlas. (SD)

Ketika aku tanya apa kepanjangan SD pada akhir statusnya, dijawab “Self Defence”