jump to navigation

(senangnya) Beda Lagi November 14, 2010

Posted by merenung in Simple, Umum.
Tags: ,
add a comment

Sepertinya penetapan waktu Iedul Adha kali ini akan berbeda lagi. Kalau para Jamaah Haji Wukuf di Arafah pada hari Senin, 15 Nopember 2010, maka keesokan harinya adalah waktu untuk melaksanakan Sholat Ied nya. Yaitu pada hari Selasa, tanggal 16 Nopember 2010. Tapi pemerintah tak bergeming untuk menetapkan Hari Raya Iedul Adha pada hari Rabu, tanggal 17 Nopember 2010. Akibatnya, ada yang Shalat Ied tanggal 16, tapi ada juga yang ikut pemerintah tanggal 17.

Mungkin ada baiknya menjalankan Puasa Arafah pada hari Senin, tanggal 15 Nopember 2010, saat dimana para Jamaah Haji sedang Wukuf. Karena kalau mengambil tanggal 9 Dzulhijjah nya pemerintah, yaitu tanggal 16 Nopember, maka rasanya tanah Arafah sudah sepi ditinggalkan orang. Tak ada lagi orang Wukuf pada waktu itu.

Sayangnya untuk hal yang satu ini kita mempertahankan perbedaan sudut pandang. Entah sampai kapan.

Wa ALLAH a’lam.

Bencana dan Teologi November 5, 2010

Posted by merenung in Umum.
add a comment

Bencana dan Teologi

read more…

Menanti Surat ALLAH Lewat Kurir (?) November 5, 2010

Posted by merenung in Jum'at, Kehidupan, Simple, Umum.
Tags:
1 comment so far

Negri ini memang “distatuskan” wajar dan normal-normal aja. Lihat saja akhir-akhir ini. Dari biaya renovasi rumah dinas sampai studi banding DPR. Tanggapan orang yang dipercaya jadi ketua di DPR telah menyinggung perasaan masyarakat Mentawai. Sementara Gubernur-nya minggat ke Jerman atas undangan KBRI Jerman. Merapi yang gonjang-ganjing seperti ini, tidak juga dilihat sebagai sesuatu “peringatan”.

Semua kejadian dimaknai sebagai suatu yang wajar. Gempa bumi karena kerak bumi bergeser. Tsunami karena keraknya mletek kenceng banget. Air bah menyapu kampung karena hujan lebat. Gunung mbleduk karena emang udah adatnya. Kalo asep panas gunung membentuk Petruk, ah itu cuma klenik.

Kayaknya memang kurang banyak tingkah salah pemimpin-pemimpin kita. Kalau gempa bumi berkali-kali, banjir dan tsunami, gunung meletus tanah longsor, ditambah musibah angkutan umum sana-sini masih juga bukan dibilang “peringatan”, apakah ALLAH harus kirim surat P&C lewat kurir dengan judul surat “PERINGATAN” ke para penguasa negeri ini.

Dua Umar dan Gempa Bumi November 4, 2010

Posted by merenung in Umum.
Tags: , ,
add a comment

copy paste from : hikmah – REPUBLIKA, Rabu, 3 November 2010

picture copied from cyberjatim.tk

Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah, … belum datang saatnya bagimu.” Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!” Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!” Seorang dengan ketajaman mata bashirah seperti Umar bin Khattab bisa merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.

Umar pun mengingatkan kaum Muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah.
Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasaNya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, “Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, `Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian’.” Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, “Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”

“Allah berfirman, `Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan tobat ataupun zakat). Lalu, dia mengingat nama Tuhannya, lalu ia sembahyang.”

(QS Al-A’laa [87]:14-15). Lalu katakanlah apa yang diucapkan Adam AS (saat terusir dari surga), `Ya Rabb kami, sesungguhnya kami menzalimi diri kami dan jika Engkau tak jua ampuni dan menyayangi kami, niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi.”

“Dan katakan (pula) apa yang dikatakan Nuh AS, `Jika Engkau tak mengampuniku dan merahmatiku, aku sungguh orang yang merugi’. Dan katakanlah doa Yunus AS, `La ilaha illa anta, Subhanaka, Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim’.”

Jika saja kedua Umar ada bersama kita, mereka tentu akan marah dan menegur dengan keras, karena rentetan “teguran” Allah itu tidak kita hiraukan bahkan cenderung diabaikan.
Maka, sebelum Allah menegur kita lebih keras, inilah saatnya kita menjawab teguran-Nya.
Labbaika Ya Allah, kami kembali kepada-Mu. Wallahu a’lam.

 

Rimba Demokrasi (?) November 1, 2010

Posted by merenung in Umum.
Tags:
1 comment so far

picture copied from blog gegenism

Mencuplik sedikit penjelasan dari Wikipedia tentang demokrasi, terlihat jelas bahwa ini bukanlah produk local. Kalau bukan local pastilah import. Ini cuplikan itu.

Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[1] Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.[1]

Demokrasi juga adalah adalah bentuk pemerintahan politik dimana kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[2] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”,[3] yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.[4]

Selengkapknya baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Bandingkan dengan sila ke empat Pancasila, yang menurut sejarah memang diramu dari bahan baku local, sehingga hampir tidak ada (atau paling tidak sedikit sekali) unsur asing yang mempengaruhinya. Ini dia sila tersebut;

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila#Sila_keempat

  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

10.  Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

picture copied from blog gego

Benar-benar mengherankan suatu yang sangat tinggi seperti sila kerakyatan itu bisa hilang tak berbekas ditelan hukum mayoritas (apapun embel-embelnya tetap kekuasaan ada di mayoritas) yang lebih mirip dan dipahami oleh jaman purba atau hukum rimba. Siapa kuat dia yang menang. Mau benar atau salah yang banyak pasti menang (baca: “benar”). Itu sebabnya bahasa kaum beradab kalau mempertahankan “kebenarannya” selalu cengengesan bilang, “rakyat yang mana?” atau “mewakili siapa”, dengan senyum lebar wajah “ngganteng”nya. Bagaimana yang sedikit (baca: “lemah”) bisa menang di alam demokrasi (baca: “rimba”). Wong mereka bukanlah yang diperhitungkan dalam kekuasaan. Mereka hanyalah pelengkap, karena mana mungkin dibilang banyak kalau tidak ada sedikit. Tidak ada yang kuat kalau tidak ada lemah, dan tidak ada menang kalau tidak ada yang kalah. Karenanya orang-orang kecil bisa apes, dituduh, direkayasa atau difitnah dan masuk penjara (ya nanti diadili lah, asal sabar nunggu), tapi orang besar nggak boleh apes, nggak boleh direkayasa, nggak boleh difitnah. Deponir, tanpa perlu ke pengadilan. Salah sendiri mau jadi orang kecil yang nggak punya pendukung. Lain kali galang dukungan lewat facebook, wahai pencuri kakao, pencuri sandal jepit, pencuri bumbu dapur, mudah-mudahan ada yang peduli.

Lalu lintas juga hasil demokrasi itu. Walau banyak tulisan yang menghimbau untuk tertib, nyatanya yang sabar dan tertib selalu saja kalah karena diserobot seenaknya oleh orang lain yang “kuat dan berani”. Di jalan tol yang menganut lajur kiri, kendaraan lambat justru merapat ke kanan. Bus dan truk dengan santai mengambil lajur tengah atau sekalian ke kanan. Serunya lagi, mobil-mobil dengan “kekauatan lain” meluncur deras dari sebelah kiri, dan tentu mobil berkelas ambil paling kiri “bahu jalan”. Mantab benar negri suka-suka ini.

Kalau Pancasila pernah dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan, itu juga terjadi pada agama-agama, apalagi demokrasi (ala rimba) ini. Permainan primitif yang mengandalkan kekuatan pembenaran. Sekarang ini ada “suara rakyat” yang mulai terdengar lantang. Dari langit lewat sapuan air dan angin ribut, dari perut bumi lewat gempa, dari mulut gunung lewat awan panas dan lava, dari laut lewat terjangan ombak setinggi sepuluh meter. Kalau “suara rakyat” ini belum juga terperhatikan, lalu bertanya “rakyat yang mana?” atau “mewakili rakyat siapa?” atau “pemilih yang mana?”, sambil cengengesan lebar di wajah “ganteng” nya, entah harus bagaimana lagi rakyat bersuara.

picture copied from cyberjatim.tk

Mimpi untuk keluar dari rimba tentu bukan hal yang gampang (apalagi monyet kecil kayak gue begini). Akhirnya cuma bisa bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain, sambil teriak-teriak nggak jelas. Kadang loncat-loncat, garuk-garuk kepala sambil mencibir-cibir bibir yang sudah monyong ini. Entah sampai kapan jadi monyet seperti ini.