jump to navigation

Uya Emang Kuya January 30, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Umum.
Tags:
add a comment

Menonton acara hipnotis Uya Emang Kuya di salah satu TV swasta sore ini terasa agak lain. Biasanya yang dihipnotis anak-anak muda, atau pasangan anak muda dengan kasus selingkuh, cinta segi tiga dan kasus lain serupa itu. Tapi kali ini, yang dihipnotis adalah seorang anak perempuan dengan ayah si anak perempuan itu (nggak tau umurnya, karena nontonnya sepotong dam menjelang adzan magrib).

Masalahnya seputar anak perempuan ingin tidak terlalu dikekang dan banyak keinginan. Si anak perempuan ini juga curiga kalau dia bukanlah anak kandung si bapaknya ini. Sementara si bapak, saat dihipnotis mengaku bahwa anak perempuan ini memang anak kandungnya.

Banyaknya keinginan si anak perempuan ini yang memang sulit dipenuhi oleh si bapak. Walau si bapak berusaha keras untuk bisa memenuhinya. Saat si Uya tanya, apa pekerjaan si bapak ini, bapak ini menjawab, dia bekerja sebagai tukang pompa air. Mungkin maksudnya tukang bor sumur pompa. Dia mengaku berpendapatan tiap bulan dibawah satu juta rupiah. Memang Uya tidak menanyakan sudah berapa lama pendapatan itu tidak naik-naik. Apakah sudah lebih dari tujuh tahun, seperti presiden kita.

Yang mengejutkan adalah bagaimana si anak perempuannya merengek-rengek minta dibelikan BB. Gadget umum yang menjadi salah satu barang yang sangat populer saat ini. Entah bagaimana, kalimat-kalimat seperti “PIN lu berapa?”, “ntar BBM gue ya” atau “ada yang kirim di group”, menjadi bahasa yang sangat umum dan menjadi aneh kalau kita tidak mengerti maksudnya. Seorang anak merengek kepada bapaknya, yang tukang pompa air dengan penghasilan dibawah satu juta, untuk dibelikan BB. Merengek yang dijelaskan oleh bapaknya dengan “menangis”, yang artinya benar-benar merengek.

Betapa jaman modern seperti ini memang lebih banyak menghasilkan manusia-manusia pemuja simbol. Harta materi sebagai satu-satunya pengharapan. Tidak pandang bulu, wabah kebutuhan akan “kehidupan modern” seolah menjadi tujuan hidup seseorang. Mungkin “curhat presiden” itu memang merupakan gambaran kehidupan  rakyatnya, seperti anak perempuan itu, bapak si anak perempuan itu, aku sendiri dan rakyat kebanyakan lainnya. Yang “keinginannya” jauh lebih besar dari pada apa yang pantas dan bisa diupayakannya.

Besar pasak dari pada tiang.

Jadi ingat lagu Deep Rock yang mengingatkan akan kematian:

Kereto Jowo

 

Gaji Kurang ! January 23, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi, Umum.
Tags:
add a comment

Sebagai pegawai perusahaan, umumnya slip gaji diterima tertutup rapat dan kadang ada juga perusahaan yang memberikan cap besar warna merah “P & C” (Private & Confidential). Itu tandanya, hanya yang bersangkutan saja yang boleh melihat isinya. Pelanggaran atas peringatan cap itu menjadi sangat berat dengan resiko dikeluarkan, atau mendapat peringatan terakhir jika melanggarnya secara kebetulan dan tanpa maksud sengaja. Itupun harus capek-capek menjelaskan bagaimana kejadian ketidak sengajaannya. Itu sedikit pengetahuanku tentang gaji. Hal yang rasanya menjadi “penting banget” bagi karyawan atau pegawai atau buruh suatu institusi.

Sekarang ini, menjadi sedikit lebih jelas mengapa aku kadang merasa gaji yang ku terima kurang. Bagaimana tidak, hampir semua orang yang aku temui di negri ini, ternyata selalu merasa gaji mereka kurang. Kadang memang aku dengar ada diantara mereka bercerita tentang besarnya gaji yang diterima. Tetapi kesan yang aku tangkap, justru lebih pada sikap pamer kemampuan dan berbangga diri. Pada kenyataannya, tetap saja mereka kekurangan, banyak hutang dan tetap berharap mendapatkan lebih dari yang sudah diterima. Tentu tidak “semua” orang di negri ini yang merasa kekurangan gaji. Ada orang-orang yang diberi oleh ALLAH hidayah kesadaran akan “permainan” dunia yang melalaikan ini, mencukupkan dirinya dengan apa yang diterimanya.

Ternyata, orang nomor satu di negri ini sudah beberapa kali bicara soal gaji. Walau tidak bicara langsung (sebagaimana latar belakangnya sebagai orang Jawa), tetap saja yang ditangkap oleh yang mendengarnya adalah mengeluhkan gajinya yang dirasa kurang.  Paling tidak itu yang diliput media. Baru-baru ini, dia keluhkan lagi gaji yang besarnya 29 x (dua puluh sembilan kali) GDP per kapita bangsa yang dipimpinnya. Mungkin maksudnya membesarkan hati yang mendengarnya. Padahal merujuk pada rasio gaji pemimpin politik terhadap GDP per kapita, negri ini menempati urutan ke 3, dibawah Kenya dan Singapura. Negara-negara maju yang selama ini menjadi kiblat berbagai hal, justru jauh dibawah kita, seperti Amerika, Jepang, Korea Selatan, apalagi Cina dan India.

Kalau selama ini untuk segala urusan para pemimpin kita berkiblat ke negara-negara maju itu, mengapa kali ini, untuk urusan gaji harus memalingkan muka ke Kenya? Apa hebatnya punya gaji ratusan kali GDP rakyatnya, seperti Kenya? Lagi pula, yang diterima pemimpin kita itu bukan cuma gaji “doang”. Masih ditambah fasilitas, seperti “dana khusus operasional yang besarnya 2 milyar per bulan” (kira-kira 300 x gajinya ya?).”; masih ditambah lagi dengan fasilitas tempat tinggal berupa istana-istana, tim dokter kepresidenan, tim pengawalan dan tim hore lainnya.

Mungkin sebaiknya kepala negara memberikan contoh berfikir yang dibalik, yaitu dengan memikirkan GDP rakyatnya agar meningkat pesat lebih besar dari negara-negara maju yang selama ini selalu menjadi kiblatnya. Ajak jajarannya dan masyarakat luas untuk membantu peningkatan GDP. Jadi kalau GDP sudah besar, lalu mau mencontoh Amerika misalnya, tempat yang juga menjadi salah satu kiblatnya, buatlah GDP per kapita bangsa ini menjadi sama dengan atau diatas mereka. Buat pemerataan agar rakyat jelata menikmati tingginya GDP itu. Jangan pula GDP besar, tapi yang menikmati cuma para Gayus dan Cukong saja. Lalu, bolehlah  berpidato dengan bangga untuk meminta “penurunan gaji” dari 29 x menjadi 10 x GDP per kapita saja. Toh jumlahnya nanti sudah lebih besar dari gaji presiden Amerika. Nanti rakyat akan belikan pesawat terbang, helicopter warna biru persis seperti milik presiden Amerika juga.

Tapi, kalau pemimpin tidak mau berfikir seperti itu, malah menaik-naikkan gaji para aparatnya, untuk menjustifikasi kenaikan gajinya, maka sebaiknya rakyat negri inilah yang harus mulai berfikir terbalik. Berfikir untuk lebih banyak berkarya dan bermanfaat untuk orang banyak, agar nantinya ALLAH berikan pemimpin yang berfikir sama dengan rakyatnya. Karena, kalau rakyat hanya berfikir tentang dirinya sendiri, pasti pemimpinnya juga hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mana ada rakyat kelinci dipimpin oleh seekor harimau? Itu menentang kodrat !

 

Uang Uang Uang January 5, 2011

Posted by merenung in Umum.
Tags:
1 comment so far

Kalau tidak keliru, ada paham suatu masyarakat (sebaiknya tidak disebut) yang mengatakan, bahwa Tuhan telah kehabisan “kekuatan” sesaat setelah mengerahkannya untuk menciptakan alam semesta ini. Karenanya, Tuhan tidak lagi “berkuasa” atas dunia ini, terutama atas manusia. Mahluk yang diciptakan Nya sempurna dan paling istimewa ini.

Dunia dikuasai sepenuhnya oleh “uang”. Alat tukar yang semula diciptakan oleh manusia untuk mempermudah interaksi di dalam hidup ini, ternyata belakangan bagaikan alat adi daya. Bagaimana tidak, jika semua hal di dunia ini, baik yang di permukaan maupun yang ada di dalam perut bumi, bahkan yang samar-samar atau yang gaib sekalipun, semuanya selalu diukur dengan bilangan-bilangan uang.

Lihatlah Gayus sebagai contoh. Seperti masih kurang mengejutkan dengan kepemilikan limpahan harta untuk pegawai negeri segolongannya, Gayus melanjutkan kejutan dengan menonton pertandingan tennis kelas dunia di Bali, padahal selain olah raga itu tidak diminatinya, status Gayus adalah seorang tahanan yang sedang menjalani persidangan. Karena para penegak hukum masih main petak umpet dengan semua sepak terjangnya, Gayus melanjutkan program kejutan awal tahun 2011 ini dengan berita perjalanan ke luar negeri menggunakan passport orang lain.

Kalaupun nanti akhirnya tidak terbukti, faktanya hukum di negeri ini memang sudah carut marut tak tentu arah. Semua serba kepura-puraan, ketidak seriusan, ketidak mampuan, kesulitan pembuktian, dan ujung-ujungnya bak menegakkan benang basah. Lemah lunglai tidak berdaya.

Inilah fakta yang tidak terbantahkan dari paham “uang berkuasa” mengambil alih peran kuasa Tuhan. Tuhan tidak lagi mengetahui kong-kalikong para penegak hukum dan politisi (tentunya). Tuhan tidak lagi melihat siapa yang korupsi dan yang menyuap. Tuhan tidak lagi bisa membedakan siapa yang jujur dan siapa yang berbohong. Di mata mereka, mungkin Tuhan memang sudah tidak berkuasa lagi. Kalau dimata mereka Tuhan masih berkuasa, masih mengetahui, masih melihat dan bisa membedakan yang baik dan buruk, bagaimana mungkin mereka berbuat maksiat karena uang di depan Mata-Nya?